Mandalawangi Pangrango
(Puisi Soe Hok Gie)
Senja ini, ketika
matahari turun ke dalam jurang-jurangmu.
Aku datang kembali ke ribaanmu, dalam sepimu, dan dalam dinginmu.
Aku datang kembali ke ribaanmu, dalam sepimu, dan dalam dinginmu.
Walaupun setiap orang
berbicara tentang manfaat dan guna.
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan.
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu, seperti kau terima daku.
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan.
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu, seperti kau terima daku.
Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi.
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada.
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada.
Hutanmu adalah misteri segala cintamu.
Dan cintaku adalah kebisuan semesta.
Malam itu ketika dingin
dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi.
Kau datang kembali dan bicara padaku tentang kehampaan semua.
Kau datang kembali dan bicara padaku tentang kehampaan semua.
“Hidup adalah soal
keberanian, menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita
bisa menawar.
Terimalah dan hadapilah.”
Terimalah dan hadapilah.”
Dan antara
ransel-ransel yang kosong dan api unggun yang membara, aku terima semua itu.
Melampaui batas-batas hutanmu.
Melampaui batas-batas jurangmu.
Aku cinta padamu Pangrango.
Karena aku cinta pada keberanian hidup.
Soe Hok GieMelampaui batas-batas hutanmu.
Melampaui batas-batas jurangmu.
Aku cinta padamu Pangrango.
Karena aku cinta pada keberanian hidup.
Jakarta, 19 Juli 1966
0 komentar:
Posting Komentar