NASRUDDIN OOS | 10 Januari 2012 |Sikabu | Foto : Ilustrasi diambil digoogle
Wajah senja baru saja berlalu. Segelas kopi masih ada di atas meja
yang beralaskan plastik bermotif kotak-kotak. Namun, suara jangkrik
masih terdengar asyik mendayung mendung walau di luar langit terlihat
gelap. Belum kelihatan ada purnama dengan rembulan bersabit. di upuk
sana.
Kebisingan adalah khas sebuah warung kopi. Itu hal lumrah yang biasa
ditemukan di setiap penjuru negeri, tak kecuali di tempatku; Gampong
Cinta! Deringan suara handphoneku pertanda
satu pesan singkat dari seseorang. Entah siapa yang mengirimkannya. Aku
melihat nama Sari disana. Dia adalah sahabat lamaku yang ku kenal ketika
kami masih duduk di SMA kelas satu.
Sari sudah bekerja sebagai seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) di
Kabupatenku. Dia menjabat satu posisi penting di rumah sakit milik
pemerintah daerah. Aku sudah lama tak melihat bagaimana wujud Sari
sekarang. Aku mencoba mengingat berapa lama kami sudah tak saling
menyapa dan berbagi senyuman. “Hmm, selusin tahun yang lalu. Ini waktu yang cukup lama bagi dua sahabat lama“,
pikirku dalam hati. Baru-baru ini saja kami bertemu secara tak sengaja,
dan kami pun berbagi kontak pribadi. Kami mulai membangun komunikasi
kembali. Kecanggihan teknologi ternyata berbuah berkah bagi banyak
orang. Seperti aku dan Sari. Kami bisa saling mengetahui kabar
masing-masing hanya dengan mengirimkan pesan singkat lewat perangkat
yang canggih itu. Ini sebuah kemajuan zaman yang luar biasa bila
dibandingkan dengan masa sekolah di SMA dulu. Banyak orang menggunakan
surat sebagai perangkat komunikasi dan tentu saja dilabeli perangko
untuk dikirimkan via kantor pos.
Kami berdua asyik berkirim pesan dan membalasnya dengan handphone masing-masing.
“Saya sudah gila ni, apa obatnya”
“Kok gila, ada apa ? Kamu harus ambil wudhu dan Shalat. Ia akan menjadi do’a yang ampuh untuk tenangkan pikiranmu”
“Jadi teringat terus ama dia, aku sedang gak bisa Shalat…tahu kan
kenapa ? Biasalah wanita..hehe. Dia bukan siapa-siapa tapi hatinya,
senyumnya, tawanya, pokoknya semua tentang dia”.
“Kamu berhalusinasi, perasaan itu harus dikontrol…ditenangkan..“.
“Apapun yang terjadi, dia akan jadi milikku. Tak perduli apa kata orang, suatu saat pasti terjadi”.
“Istiqfar dan baca yasin-yasin dulu, agar pikiran jernih dan kembali
tenang. Jangan salah melangkah, demi anak-anak mu. Jangan biarkan
anak-anak mu tertekan dengan keegoisan yang belum tentu benar ”.
“Iya, aku sadar siapa diriku, kalau pun aku janda belum tentu
keluarganya mau menerima. Tapi untuk sekarang izinkan aku untuk ingat
dia, biar hidupku lebih semangat ketika menghitung hari”.
“Kalau janda itu persoalan lain, tapi kamu sekarang adalah seorang
isteri dan seorang ibu bagi dua anak mu. Jangan minta izin untuk kamu
ingat dia sama aku.
“Bagiku mengingat itu wajib, gratis, nggak merepotkan. Aku sadar,
tapi aku nggak bisa melawan perasaan ini. Aku nggak bisa menipu diriku
sendiri. Aku jatuh cinta lagi, cinta yang terlarang terhalang oleh
keadaan. Aku sadar. Terima kasih sudah mengingatkan aku, kamu memang
sahabat ku yang paling baik”.
Obrolanku dengan Sari semakin mempertegas bahwa keinginan kuat
seorang perempuan tak bisa dibendung oleh siapapun. Sulitnya lagi adalah
membendung keinginan perempuan yang telah bersuami seperti Sari. Ia
belum paham akan eksistensi cinta yang telah ada padanya.
Sari ingin kembali ke masa lalunya. Benih-benih cinta pertama yang
pernah tumbuh di masa lalu pun ingin disemi kembali. Kerinduan akan
hal-hal indah ketika usia remaja. Perasaan yang umumnya dimiliki gadis
tujuh belasan tahun. Cinta yang pernah dibina Sari dengan seorang lelaki
di masa lalunya masih membekas di hati. Mereka berdua berpisah karena
sesuatu hal yang biasa, salah paham ! Sari masih bisa melukiskan
bagaimana perawakan lelaki remajanya itu. Namanya Arif ! Dia lelaki yang
agak pendiam, berkulit sawo matang, dan tentu saja lelaki ini berhasil
membuat Sari jatuh cinta kala itu. Hingga sekarang, Sari masih ingat
bagaimana indahnya cinta pertama itu.
Entah apa yang diharapkan pada Arif. Padahal, Sari tidak memiliki
masalah dengan materi. Harta yang sekarang dimilikinya bersama suami
lebih dari cukup. Mereka sudah bisa disebut orang kaya. Namun, Sari
belum rasakan kebahagian selama menikah dengan suaminya. Ia belum pernah
dengarkan suaminya ucapkan cinta padanya. Suasana romantis, ya Sari
adalah wanita yang ingin dimanjakan jiwanya oleh lelaki. Hingga kini,
meski sudah memiliki dua anak laki-laki, Sari belum nikmati cinta dan
bercintanya yang indah !
“Aku telah rapuh sekarang, nggak setegar dan sekuat dahulu. Ibarat
kapal nggak tahu tempat berlabuh kegalauan yang mendera, kemana aku
harus berpegang, nggak tahu harus bicara apa dan berbuat apa, hanya ada
bayang-bayang masa depan yang suram. Nggak tahu harus berpegang kepada
siapa. Apakah aku nggak boleh bahagia, tertawa seperti orang-orang lain.
Apakah yang terjadi mungkin ini karma atau memang sudah suratan
takdirku, karna pernah mengecewakan dia dimasa lalu, kemana aku harus
pergi dan kemana ku cari sesuatu rasa yang pernah ada dan kini muncul
lagi dan harus dilenyapkan lagi”
Harta tak mampu menjamin seseorang meraih kebahagiaan dalam hidupnya
di dunia. Kebahagian tak bisa dibeli dengan materi. Bagi seorang
perempuan dewasa dibutuhkan lebih dari sekedar harta. Seperti apa yang
dialami oleh Sari sekarang. Dia butuh dimanja, dimengerti perasaannya,
dan kurang mendapatkan penghargaan dari sang suami. Apakah ini yang
menyebabkan dia ingin kembali dalam pelukan Arif, lelaki masa lalunya?
Selama pacaran dengan Arif, padahal Sari tidak pernah dicium ataupun
dipeluk oleh Arif dan hal ini yang terus membuat Sari semakin cinta,
Arif telah menjaga kehormatan remajanya dikala itu.
“Sudah lama saya ingin bercerai, namun dulu karna lagi mengandung
anak kedua, suami saya bilang tunggu dulu sampai bayi itu lahir, saya
sudah tak sanggup lagi menjadi bonekanya”
Saya tidak pernah dihargai, mau kemana-mana saya sendiri tak pernah
ditemani apalagi diajak jalan-jalan dengan anak-anak. Dia sibuk kerja,
tapi uangnya nggak pernah dia kasih tahu, semua keperluan anak-anak itu
dari gaji saya. Saya menyerah.
Maka biarkan saya mencintai Arif, karna saya merasa nyaman disamping
dia. Kemaren saya diantar pulang oleh Arif, suami saya ada melihatnya
tetapi dia nggak bilang apa-apa atau bertanya itu siapa.
Aku sebagai temanmu Sar, nggak tahu mau bilang apalagi. Karna aku tak
ingin terjebak dalam persoalan rumah tangga mu dan cinta terlarang mu
ini. Disatu sisi kamu ingin bercerai sedangkan sisi lain kamu mencintai
Arif yang masih lajang dan belum punya penghasilan. Memang dia seorang
guru tapi itu masih bakti. Aku hanya bisa mengatakan bahwa fokuslah.
Selesaikan dulu satu persatu persoalan mu. Jika kau juga tanya padaku,
ya mungkin aku juga sependapat dengan ayah dan ibu mu. Kau berhak
menentukan hidup mu, tapi jika keluarga Arif tak bisa menerima kehadiran
mu dan itu jangan kau salahkan siapa-siapa.
“Kau suruh aja Arif kawin terus, biar aku mampu melupakan dia. Kalau
dia sudah kawin pasti dia sudah tidak bisa lagi aku bertemu”.
Orang tuanya juga lagi mencari perempuan yang cocok buat dia,
perempuan yang diinginkan oleh orang tuanya itukan yang bisa melanjutkan
usaha dagang mereka yang lama dibangun.
Sar, jika memang kau sadar, kau tak lagi bertingkah seperti perempuan
berusia 17 tahun kek gini, saat dia sakit jangan kau perlihatkan seakan
kau masih di SMA.
“Aku masih sangat mencintainya, dan jangan pernah menahanku untuk lari bersama cintaku..Arif!”
Editor : Arby Sabi Syah
Sumber : https://inasoos.wordpress.com/2013/01/12/aku-masih-sangat-mencintainya-walau-aku-seorang-istri/
Rabu, 30 Januari 2013
Home »
Catatan Sastra OOS
» Aku Masih Sangat Mencintainya, Walau Aku Seorang Istri
0 komentar:
Posting Komentar