Selasa, 07 September 2010

Bicara tentang Arti Sebuah Tulisan

Sebagian menganggap bahwa di dalam menulis dan membaca, arti dan makna yang terkandung di dalamnya tertuang jelas di dalam teks yang ditulis. Sebagian lagi menilai bahwa tidak selalu harus demikian, karena arti dan makna sebuah tulisan justru terkandung di balik teks yang ditulis itu sendiri. Yang mana yang benar?! Yang mana yang lebih berarti dan bermanfaat?!


Yah, kita semua memang selalu saja bertanya dan ingin tahu kebenaran arti dan makna dari apa yang tertulis itu. Namun demikian, kita juga memiliki keterbatasan atas pola pikir, cara pandang, dan juga struktur dalam pola kehidupan yang telah terbukti selama peradaban ini berlangsung sangat berpengaruh terhadap pemikiran itu sendiri yang membatasi dan juga meluaskan kemampuan seseorang di dalam menulis dan membaca.

Harus diakui bahwa kita seringkali gagal di dalam menangkap isi sebuah tulisan. Terpaku pada teks yang dituliskan dan mengeneralisasi konteksnya antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga kemudian perdebatan pun terjadi dan sama-sama saling mempertahankan argumen masing-masing karena merasa juga sudah “lebih” dari yang lainnya. Bukan hal yang baru dan malu untuk diakui, ini sudah berlangsung sejak lama dan tercatat dalam sejarah.

Inilah yang kemudian menjadi sebuah pertanyaan besar bagi Jacques Derrida, seorang filsuf asal Perancis yang terkenal dengan teori “Deconstruction”-nya. Dekontsruksi, sebuah ide yang diasosiasikan dengan with post-structuralism dan post-modernism, yang merupakan strategi analitis yang terutama telah diterapkan dalam lingguistik, literatur, dan filosofi. Tiga karyanya sangat fenomenal karena menggunakan pendekatan radikal atas teks atau tulisan; “Speech and Phenomena”, “Of Grammatology”, dan “Writing and Difference”. Sangat juga berpengaruh terhadap perkembangan kritik tulisan dan juga perkembangan atas arti kata yang ada di dalam kamus, di mana sebelumnya, teks hanya diartikan sebagai sebuah kumpulan kata-kata yang dituangkan dalam berbagai bentuk tulisan.

Inti utama dari apa yang menjadi pembahasannya adalah “Masalah dalam membaca”. Apa yang tertulis dan apa yang terjadi akibat sebuah tulisan sangat dipengeruhi oleh berbagai aspek, diantaranya adalah interpretasi, persepsi, komentar, keterbatasan, dan masih banyak yang lainnya, termasuk juga peristiwa, sejarah, tanggal penulisan yang berhubungan erat di dalam pemahaman konteks sebuah tulisan. Oleh karena itulah, di dalam membaca, kita harus menempatkan teks atau tulisan sebagai seseuatu yang harus dibaca, bukan sebagai sebuah perbedaan atas pemikiran dan hasil kerja, tetapi atas apa yang menjadi penekanan atas semua aspek yang tertuang di dalamnya. Karena perbedaan itu sendiri jelas ada dan sangat dipengaruhi penulis, konteks sejarah penulisan, pembacanya, dan juga pengaruh atas ideologi politik ekonomi yang menjadi dasar atas keterbatasan dari pemahaman interpretasi sebuah tulisan. Yang paling lebih penting lagi, jangan menyamakan pengertian kata dan bahasa tulisan dengan kata dan bahasa yang digunakan dalam percakapan Begitulah kira-kira penjabaran singkat atas apa yang saya tangkap dari dasar pemikirannya.

Semua ini jelas sekali tampak bila melihat perdebatan yang sering terjadi di Kompasiana ini. Apa yang terjadi sekarang ini bukanlah sesuatu yang baru, tetapi sudah seringkali terjadi. Bila saja semua mau memperhatikan sejarah dari awal adanya Kompasiana ini sampai sekarang, termasuk kisah dan cerita yang terjadi di dalamnya, maka bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi. Sayangnya, banyak sekali yang tidak mau melakukannya dan terjebak pada situasi kondisional sehingga apa yang terjadi terus saja berlanjut. Sudah bukan cerita baru bila perdebatan selalu terjadi atas sebuah teks, jarang sekali ada perdebatan atas konteks dan pemahaman atas sebuah pemikiran di dalam tulisan. Sudah bukan barang baru juga populeritas diperebutkan dengan cara menjatuhkan yang lainnya dengan berbagai macam cara.

Yang lebih parahnya lagi, banyak yang memang paling senang menjadi ‘kompor”, apalagi oleh mereka yang tidak mengunakan foto ataupun nama serta identitas asli. Dengan mudahnya kemudian menuding, menghujat, dan mengarahkan pembaca lalu kemudian lempar batu dan sembunyi tangan. Membiarkan yang lainnya menanggung akibatnya dan mempertanggungjawabkannya. Tak sedikit yang meminta agar yang lain menuliskannya dan dipengaruhinya lewat berbagai pujian yang hanya sekedar umpan. Lupa bahwa itu adalah salah satu bentuk kesombongan dan menggunakan kesombongan itu untuk yang lainnya, di mana meremehkan yang lainnya dan menganggap semua sama dan tidak bisa menangkap maksud serta tujuan yang sebenarnya meski dilakukan secara halus dan elegan. Padahal, udang di balik batu itu belum tentu tak nampak.

Sungguh merupakan hal yang membuat saya miris dan sedih. Ini juga membuktikan sekali bahwa memang bila tidak memiliki dasar yang kuat atas pemahaman sebuah bahasa, membuat tulisan itu menjadi hanya sekedar sebuah tulisan yang ditangkap secara tekstual dan tidak mengindahkan sejarah, peristiwa, dan masa saat tulisan itu dibuat yang tercermin pada konteks sebuah tulisan. Terpaku kepada pola pikir dan cara pandang yang “umum”, “jamak”, “lumrah” juga “trend” di dalam lingkungan kehidupannya sehari-hari, tidak secara luas dan menyeluruh. Akibatnya, bila ada perbedaan ataupun ada yang berbeda maka menjadi sesuatu yang tidak bisa diterima dan langsung diinterpretasikan dan dipersepsikan hanya lewat cara pandang yang dilihat dari satu sisi saja. Sisi yang lainnya diabaikan dan dianggap salah serta tidak benar terlebih dahulu dan menjadi difensif.

Sangat dipahami sekali sikap seperti ini terjadi bila kemudian terjadi pembenaran atas perilaku yang dijadikan sebuah benteng pertahanan. Namun kembali lagi belajar dari sejarah, bahwa semua itu tidak akan pernah bisa bertahan ataupun berlangsung lama meski terus saja ada. Kelabilan dan tidak kuatnya dasar atas apa yang dilakukan membuat waktu bisa membuktikannya sendiri. Semua ada masa dan waktunya dan tidak pernah juga ada pesta yang tak pernah usai. Mental, keberanian, dan tanggungjawab sangat jelas sekali besar pengaruhnya.

Di lain sisi, lengahnya kepekaan atas gejala sosial yang terjadi di dalam masyarakat menjadikannya semakin buruk. Tidak bisa membedakan mana yang “hitam” dan “putih”, mana yang “sakit” dan “waras” akibat ketidakmampuan di dalam mendalami isi arti dan makna kata per kata yang tertuang di dalam tulisan. Pemilihan kata jelas sekali menunjukkan pribadi seseorang, begitu juga alurnya di dalam menulis. Untuk dapat mengetahui dan mengenalnya, tentunya dibutuhkan pengalaman dan juga kepekaan serta kepedulian. Ini yang seringkali tidak diperhatikan dan dicermati dengan baik.

Amat sangat dipahami bahwa semua memiliki kelebihan dan keterbatasan serta kekurangan masing-masing. Mana yang benar dan mana yang salah bukanlah yang menjadi inti utama dari sebuah diskusi yang baik, tetapi bagaimana bisa saling mengisi atas kekurangan dan memberikan kelebihan itu kepada yang lain untuk menjadi berarti dan bermanfaat adalah yang seharusnya didahulukan. Kekurangan itu bukanlah sesuatu yang menjadi batas untuk mau melepaskan diri dari batas yang ada, tetapi merupakan pemicu untuk membuat batas itu menjadi lebih luas lagi. Perbedaan itu indah, tetapi alangkah indahnya bila berpadu menjadi satu seperti sebuah pelangi.

Perlu diingat selalu juga bahwa ada etika dan norma yang berlaku di dalam kehidupan bermsyarakat termasuk di dalam sebuah komunitas. Bila ini juga diabaikan, maka tidak akan pernah ada yang namanya manusia modern dalam pemikiran dan hati.

Memahami arti dan makna kata, memahami arti dan makna bahasa, mengerti dan paham sebuah tulisan bukanlah hal yang sepele dan bisa diabaikan serta tak perlu dicermati serta diperhatikan begitu saja. Bila ingin kehidupan menjadi lebih baik, marilah kita sama-sama renungkan hal ini. Bila ingin rumah sehat ini juga tetap sehat, marilah kita memikirkannya bersama-sama.

Salam Kompasiana,
Mariska Lubis


Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2010/09/05/bicara-tentang-arti-sebuah-tulisan/

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com